
Sekolah. Satu hal yang amat wajib dikecap semua orang. Tapi, apakah sekolah benar-benar dapat membuat dahaga kita akan pendidikan dan moral terbayar secara penuh? Secara lahir, mungkin kita masih bisa bernegosiasi. Tapi secara bathin? baik. Saya punya pengalaman.
Dikelas sebelas, saya sebagai murid SMA yang belum stabil, pasti hanya ingin senang-senang diambang sekolah SMA, ditengah kebebasan dan tekanan senior. Disaat itu, Saya tidak terlalu peduli dengan nilai-nilai pelajaran saya. Saya cuma mau kebebasan. Somos Libres. Jadi, mumpung guru-guru saya sedang sibuk memperhatikan murid kelas tiga, saya lebih suka membuang dan menghamburkan waktu saya untuk bersenang-senang dan berbuat apapun semau saya. Tapi, perbuatan saya yang mengacu kata bebas itu tak berlaku dan terkecap hambar bagi guru matematika saya. Jujur, saya amat tidak sealiran dengan beliau. Saya tidak ada minat sama sekali pada Matematika. Hanya membuang waktu. Karena kekurangan saya terhadap pelajarannya, si Pak Guru selalu menyuruh dan menyuruh saya maju untuk mengerjakan soal setiap kali Ia mengajar. Dan ia pun mempermalukan saya sedemikian rupa seenak jidat beliau mencetak kata-kata yang jelas jelas membuat telinga saya ingin memuntahkan kata-kata yang sebelumnya terserap. Saya pun sempat paranoid untuk bersekolah. Saya tidak ingin berhadapan dengan 5 jam pelajaran matematika selama seminggu. Entah saya trauma, atau apa. Sepertinya saat itu saya amat butuh psikolog untuk mendorong saya dari gravitasi buruknya pikiran saya akan sekolah. Satu waktu, saya memilih tidak mengikuti pelajaran Matematika. Saya kabur dan sembunyi di perpustakaan sekolah. Saya kira, dengan begitu si Pak Guru tidak akan peduli kehilangan Murid yang bebal baginya. Tapi, seakan saya maling atau residivis yang kabur tanpa pamit, si Pak Guru Lapor guru piket untuk membantunya mencari saya. Saya, yang saat itu tengah berusaha me-reject telpon dari teman saya, tiba-tiba kedatangan guru piket. Saat itu guru piketnya adalah guru agama saya. Jujur, setelah sharing dengan beliau, saya sedikit lega dan agak berkeberanian untuk kembali ke kelas. Tapi, setelah menemui Guru matematika saya dan minta maaf sesuai anjuran guru piket, lagi-lagi saya malah dihukum.
Faktanya, setiap guru berbeda. Ada yang mengerti kondisi psikis murid didiknya, ada juga yang tidak. Sepertinya harus diadakan standard bagi guru untuk belajar ilmu psikologi, atau konseling, agar ia mengerti bagaimana dan seberapakah porsi mental anak yang dididiknya. Sebetulnya, pengalaman saya itu tidak ada apa-apanya dibanding apa yang dirasakan oleh murid lain dinegara ini. Coba anda luangkan waktu sejenak menonton berita. Ada seorang Guru SD yang tega menjedoti muridnya sampai berakibat fatal, hanya karena si murid tidak mampu menjawab soal perkalian. Ada juga yang tega Mencolok mata muridnya hingga murudnya mengalami kebutaan. Jadi, sepertinya Guru jangan lantas menghakimi murid yang belum benar dalam mengolah apa yang disampaikan. Ayolah...
"Pendidik Harus Lebih Bermoral Dalam Mengajar Anak Didik"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar